Mental Health

Sebuah renungan (atau bukan?) sebelum tidur. 

Banyak isu mengenai kesehatan mental belakangan ini. Aku sadar karena dokter yang notabene terfokus pada kesehatan fisik pun sudah mulai aware tentang hal itu: kesehatan mental mempengaruhi (tepatnya, saling memengaruhi antara) kesehatan fisik. Ada orang yang tekanan darahnya selalu tinggi, ternyata pikirannya tak karuan. Dan dengan olah pernapasan dan rutin jalan kaki, pikirannya mulai tenang dan bisa diatur. Demikian dengan darah tingginya. 

Aku tak tahu, apakah definisi mental itu sama dengan ruhani? Mari bahas, tapi nanti saja.

Masih ada stigma bahwa mental yang sedang sehat adalah karena kurang ibadah (tapi tidak mempersoalkan kesehatan fisiknya), atau yang lebih parah lagi, karena malas. Jika Anda adalah salah satu orang yang punya stigma seperti ini, tolong jangan pernah ucapkan kepada orang yang sedang terseok-seok, karena barangkali mentalnya sudah lemah dan pernyataan seperti itu bisa mengakibatkan hal yang tak diinginkan; mari berempati.

Mari berempati. Berempati bukan perkara mengasihani, namun memahami apa yang sedang terjadi padanya, dan bertindak dengan tindakan yang layak. Dan, ada kalanya jika empati belum sampai dan melihat orang seperti itu, diam adalah salah satu hal bijak. Namun diam tak berarti mendiamkan; membantunya dengan cara terbaik. Tak harus kita yang berbicara, namun dengan membantukan mencari dukungan ketika kita tidak yakin dengan apa yang kita katakan adalah hal yang, setidaknya menurutku, adalah membantu dengan cara yang baik. Atau, bertanya pada yang paham. Hindari sotoyisme.

Disinlah psikolog berperan. Ia mencoba menggali apa "isi kepala" seseorang, seperti seorang Hero yang melakukan diving terhadap cosmosphere dari seorang Reyvateil (ketauan umur?). Untuk menggali itu, diperlukan mutual trust antar keduanya, seperti dive point (lagi). Dan menggali pikiran itu bukan sebuah pengetahuan asal-asalan; ilmu psikologi sudah established dan diakui. Tidak asal-asalan dalam menafsirkan isi kepala manusia.

Apalagi di era keterbukaan informasi sekarang, yang jauh lebih terbuka dari apa yang pernah terjadi dalam sejarah manusia. Kita beranjak dari keterbukaan informasi, dan kemudian "manipulasi informasi". Salah satunya dimana orang menampakkan "kebahagiaan" palsu dengan segala macam motifnya (silakan tafsirkan sendiri). Dengan berangkat dari keterbukaan informasi, filter informasi dalam diri yang belum siap, hingga akhirnya segala informasi yang diterima diserap begitu saja. Dan (seringkali) terinternalisasi begitu saja dalam pikiran tanpa sadar. Dari situlah muncul segala macam "gangguan mental". Entah itu kecemasan, depresi, dan sebagainya. Belum lagi tantangan hidup yang lebih gila lagi sekarang ini. 

"Kenapa dia bisa saya tidak..."

Jadi, hati-hatilah menyebut orang dengan julukan lemah, dan sebagainya. Bila fisiknya nampak normal, barangkali ada sesuatu yang membebani mentalnya.

Mulai ngantuk, tidur dulu.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menulis

Unreal Engine

Harta