Open Source dan Kebebasan (Linux ver.)
Tahun 2025 menjadi tahun keempat aku serius menggunakan Linux untuk desktop, meski selalu gatal untuk melakukan distro-hopping. Bila ditanya kapan pertama mengenal Linux, jawaban melayang ke 2008 (atau 2009? Lupa) ketika aku mengoprek komputer yang "asing" bagiku di salah satu bimbingan belajar. Waktu itu, Ubuntu menjadi distro pertama yang kusentuh dengan GNOME bawaannya. Namun sayangnya saat itu masih belum tidak bisa terlalu ngoprek karena tak punya komputer sendiri. Satu rumah hanya satu komputer, dan jika rusak, diomeli seisi rumah. Windows XP!
Dan majulah ke 2020, aku mulai mengoprek lagi Linux ketika sudah ada komputer yang terpisah dari komputer utama. Tiga bulan pertama, Ubuntu. Selanjutnya, Linux Mint. Kemudian, Arch Linux. Manjaro, Tumbleweed, antiX, Fedora, sampai FreeBSD kucoba, dan semuanya diinstal secara bare metal. Namun, dari semua instalasi itu, yang awet adalah OpenSUSE Tumbleweed yang kuinstal juga di MacBook Pro 2011 yang terus kupakai sebelum akhirnya berganti ke Acer Aspire. Dan, di Acer itu juga kupasang Tumbleweed. Hingga kemudian aku berganti ke EndeavorOS di 2024 dan kupakai terus setelahnya.
Ada saja suka duka saat menggunakan berbagai distro Linux tersebut. Sebelum ke suka duka, mungkin muncul pertanyaan, apa bedanya Linux dengan Distro? Seiring perjalanan, aku memahami perbedaan kedua hal tersebut sebagai berikut: Linux adalah kernel, dan Distro adalah komponen-komponen di atasnya. Distro merupakan istilah dari Distribution.
Apa itu kernel? Sederhananya, kernel adalah software yang menjembatani komunikasi antara software-software di atasnya, dengan hardware-hardware yang ada di PC kita. Sebetulnya, apa yang ada di hadapan kita dengan icon-icon dan antarmuka yang bagus, dibaliknya ada serangkaian lapisan proses yang akhirnya menerjemahkan menjadi sinyal-sinyal listrik (atau demikian sebaliknya). Apa yang kita gunakan saat ini sudah melewati serangkaian penyederhanaan yang sudah sangat memudahkan kita dalam menggunakan komputer.
Dan, distro adalah kernel Linux plus lapisan software di atasnya. Para pembuat distro ini "meracik" software-software di atas kernel Linux sehingga menjadi Distro yang sesuai dengan visi dan misi dari si empunya (atau, peracik), dan hal inilah yang membedakan antara satu distro dengan distro lainnya. Sebagai contoh, suatu distro bisa "diracik" bagi mereka yang beralih dari Windows, karenanya Linux Mint hadir sebagai distro yang familiar bagi pengguna Windows. Atau, ElementaryOS bagi mereka yang sudah familiar dengan macOS.
Sebetulnya, distro tidak hanya masalah User Interface dan User Experience. Banyak hal lain yang membedakan suatu distro dengan distro lainnya. Misalnya, masalah update. Ada update yang berbasis Rolling Release (updatenya cepat) seperti Arch Linux (dan keturunannya seperti Manjaro dan EndeavorOS) dan OpenSUSE Tumbleweed, maupun Point of Release (update di waktu-waktu tertentu) seperti Ubuntu dan Debian. Itu pun juga tergantung versinya. Ubuntu misalnya, ada versi stable yang diupdate 6 bulan sekali, dan LTS yang 2 tahun sekali sama seperti Debian.
Ada untung rugi dari setiap jenis release tersebut. Rolling release misalnya, hardware-hardware baru pada umumnya lebih disupport oleh distro tersebut, dan fitur-fitur baru lebih cepat hadir. Namun konsekuensinya, karena pembaruan yang lebih sering maka tidak akan se-stabil distro yang rilisnya menggunakan jadwal Point of Release. Namun, konsekuensi dari update yang tidak terlalu sering, fitur baru telat hadir dan hardware baru belum (sepenuhnya) disupport.
Tidak hanya Releasenya saja. Tools lainnya yang dibawa oleh distro seperti distro yang spesial untuk Security seperti Kali Linux membawa tools Security dan menjadi pembeda dengan distro lain meskipun berdasarkan Debian Testing (nah, Debian juga ada branch lainnya yang releasenya lebih cepat).
Pusing? Wajar... Ada banyak hal yang bisa dibahas, mungkin nanti di posting selanjutnya ya. Mungkin bikin tema baru, Linux Adventure? Di dunia Linux juga banyak hal yang menantang, dan karena menantangnya menjadi menarik untuk diselesaikan, seperti halnya gaming, terutama jika menggunakan GPU NVIDIA. Tinkering sedikit-sedikit akhirnya menjadi platform yang nyaman untuk gaming, meski belum sempurna. Entah bagaimana di dunia GPU AMD, sepertinya lebih baik jika lihat di komunitas. :)
----
Kembali ke judul. Linux adalah Free dan Open Source. Free dapat diartikan sebagai freedom, dan free as free beer alias gratisan. Linux dan berbagai distro Linux memang gratis, namun ada beberapa distro yang berbayar. Bukan Distronya yang berbayar, melainkan supportnya seperti RHEL dan SUSE Enterpise Linux (SEL). RHEL sendiri dapat didownload secara gratis bagi developer. Sedangkan SEL, aku belum pernah mencobanya. Mungkin sama seperti Tumbleweed dengan YaST-nya?
Freedom, ini menjadi topik yang menarik. Berita berseliweran tentang raksasa software dunia yang dilarang oleh pemerintah asal perusahaan tersebut untuk mengekspor perangkat lunaknya ke negara-negara tertentu. Konsep yang penting, mengingat kita sudah sangat tergantung dengan teknologi informasi.
Di masa-masa trade war seperti sekarang ini, kemandirian teknologi sebetulnya sangat penting. Apa jadinya jika suatu waktu, Paman Sam melarang perusahaan-perusahaan IT negeri mereka untuk memberikan layanan dan perangkat lunak ke negeri kita? Bisa-bisa, banyak bisnis yang terhenti dan juga banyak hal yang terhambat, karena ketergantungan kita yang sangat besar terhadap teknologi-teknologi mereka.
Dan strategi perang ini bisa menjadi sangat efektif bila lawan sudah sangat tergantung oleh kita; "mencekek" lawan yang sudah sangat tergantungan dengan kita, sehingga agar tak "mati", mau tak mau lawan harus mengikuti keinginan kita. Dan, lawan pun kalah. (Namun, jangan gunakan strategi seperti ini untuk kejahatan ya, berkontribusilah bagi kemanusiaan dan kehidupan).
Sebelum hal yang tak diharapkan terjadi, teknologi free and open source (FOSS) seperti Linux bisa menjadi titik awal yang baik. Beberapa negara misalnya, sudah mulai menggantikan Windows dan Office dengan alternatif Distro Linux. Misalnya seperti yang terjadi di negara bagian Jerman, India, atau bahkan negara tetangga kita. Silakan lihat detailnya di Wikipedia.
Perubahan tidak perlu langung dilakukan besar-besaran alias masif (seringkali yang begini gagal). Bertahap. Mulai dari ranah pendidikan yang membiasakan untuk menggunakan Linux dan juga Windows. Mengapa Windows juga? Karena Windows masih pemain besar di dunia sistem operasi. Dengan dibekali skill Linux dan diiringi oleh skill Windows, setidaknya diharapkan dapat membekali skill kemandirian teknologi, dan juga adaptabilitas mereka ketika terjun ke dunia nyata.
Di lingkungan pemerintahan yang "high-tech" seperti Komdigi juga bisa menjadi titik awal yang baik untuk adopsi teknologi yang bersifat open. Memigrasikan berbagai teknologi proprietary ke teknologi open dapat mendukung kemandirian. Karena, rasanya kedepan perang bukan hanya perang jedar-jeder ledakan sana-sini. Namun juga mempersulit kehidupan musuh dengan hilangnya akses ke teknologi informasi. Karena teknologi informasi sekarang sudah menjadi tulang punggung bagi hajat hidup orang banyak.
Dan, open source bisa menjadi promotor pergerakan ekonomi. Dengan pengembangan talenta digital yang mumpuni, pengembangan lanjutan dari teknologi open tersebut dapat berkontribusi dalam perputaran ekonomi dan inovasi. Nature open source yang mengizinkan modifikasi bisa membuat inovasi layanan-layanan baru memungkinkan. Sebetulnya, talenta digital Indonesia banyak yang keren dan bisa "meracuni" generasi-generasi selanjutnya untuk terus berinovasi, dan juga menciptakan hal-hal keren...
... selama tidak terbelit oleh "birokrasi"
----
P.S., tiba-tiba kepikiran: Jangan samakan antara open source dengan data leak. Sering sekali kudengar kalimat "negara open source" ketika ada kebocoran data, baik itu instansi pemerintah ataupun swasta (Terlepas apakah itu guyonan atau tidak). Untuk menghindari salah paham, open source berbeda dengan data leak, atau open data. Banyak software yang bersifat open source namun dapat menjaga keamanan informasi dengan baik, pada beberapa kasus sama atau lebih baik dari teknologi Closed Source/Proprietary. Coba perhatikan bagaimana OpenSSL sudah banyak berkontribusi dalam keamanan digital.
Komentar
Posting Komentar